
Iklan pertunjukan komedi di koran Bintang Barat, Batavia, 1892
Komedie Stamboel adalah pertunjukan teater bergaya Istambul yang muncul di Surabaya pada tahun 1891. Pertunjukan ini cukup terkenal pada jamannya dan sempat digelar di Singapura dan Malaysia. Cerita-cerita yang dimainkan umumnya diambil dari kisah1001 Malam, dongeng peri dari Eropa, dan cerita-cerita opera seperti Putri Tidur dan Aida.
Dalam buku “The Komedie Stamboel: Popular Theatre in Colonial Indonesia” (2006), Matthew Isaac Cohen menulis:
Komedie Stamboel dibuka pada 29 September 1892 di lapangan Mangga Besar, Glodok dan berlangsung hingga 13 Oktober. Daerah ini adalah kawasan pecinan tua di Batavia, dimana “rumah-rumah tinggi dan sempit, dengan hiasan aneh dan genting merah yang kontras dengan birunya langit, berhimpitan satu sama lain; jalannya yang lebar dipenuhi gerobak dan kereta kuda, selaras dengan lalu lintasnya yang padat; orang-orang berjalan dengan penuh energi dan kesibukan.”
Tiket dijual hingga empat gulden dan ada keraguan apakah penonton di Batavia mampu membayar semahal itu. Sekali lagi, Komedie Stamboel harus bersaing dengan yang lain. Akrobatik Jepang yang menjadi pesaing kuatnya di Semarang juga bermain di Glodok dari tanggal 4 sampai 9 Oktober, sementara Stanley’s Comic and Burlesque Opera Company menggelar opera di dekat kawasan itu mulai 9 Oktober.
Bintang Barat melaporkan: “Dari namanya orang mungkin berpikir bahwa komedi ini berasal dari Turki, tapi nyatanya bukan. Kelompok ini terdiri dari orang-orang Indo yang dilatih memainkan komedi dalam bahasa Melayu dan membawakan kisah yang diadaptasi dari cerita Arab “1001 Malam”.
Saat mereka bermain di Surabaya, kami sering membaca di koran lokal tentang betapa hebat dan lucunya komedi ini, tapi kami tak bisa menuliskannya sebelum menyaksikan mereka dengan mata kepala sendiri. Kami lalu menontonnya dua kali dan apa yang kami saksikan benar-benar menyenangkan.
Ketika memasuki tenda pertunjukan, kursi penontonnya diatur seperti sirkus. Di antara penonton kelas satu dan panggung terdapat band pengiring yang musiknya terdiri dari harpa, biola, gitar, suling dan terompet. Semua pemainnya orang Indo, kecuali harpa yang dimainkan oleh orang Italia.
Musik dimainkan sebelum komedi dimulai dan saat pergantian adegan. Ini dimaksudkan agar penonton tidak menunggu adegan berikutnya dalam kesunyian.
Ketika adegan akan dimulai, suara bel berbunyi lalu layar dinaikkan. Di panggung, beberapa pemain muncul dengan memakai kostum sesuai adegan yang akan dimainkan. Pemain yang berperan sebagai raja memakai pakaian kebesaran, pemain yang bermain sebagai pelayan didandani seperti pelayan. Mereka membawakan cerita dari kisah 1001 Malam dan menyanyikan sebuah pantun dengan diiringi musik. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu manis, seperti Aku Ingat Padamu, Bintang Siang, dan sebagainya.
Dua di antara aktor-aktor yang berperan memiliki akting yang lucu. Setiap kali keduanya ini muncul, mereka mengundang tawa penonton karena tingkah mereka yang seperti badut. Dua pemain ini sangat jenaka dan mampu mengundang simpati publik.”
Pertunjukan berjalan sukses sejak malam pembukaan. Banyak tokoh-tokoh penting menonton Toekang Ikan Sama Djin (The Fisherman dan The Genie) dan Siti Senimbar pada dua malam pertama. Orang-orang dari kampung Poncol Sentiong, Tangki dan Sawah Besar, secara berkelompok datang untuk menonton. Pertunjukan menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Batavia. Lagu-lagu yang dibawakan dalam pertunjukan itu menjadi populer, sering dimainkan oleh pemain-pemain keroncong jalanan dan menjadi siulan orang dimana-mana.
Meski pertunjukan umumnya berlangsung aman dan tertib, ada beberapa kejadian yang menjadi perhatian media saat itu. Sejumlah aktor hampir saja baku hantam dengan penonton pada pertunjukan 11 Oktober. Jika penonton wanita datang ke sana untuk mendengarkan musik dan lagu, penonton prianya punya maksud lain. Mereka “datang setiap malam untuk melihat perempuan-perempuan Indo yang cantik”. Para aktor yang memiliki hubungan khusus dengan artis-artis itu jelas tidak menyukai hal ini.
Cerita yang diambil dari 1001 Malam seringkali menampilkan adegan implisit yang menyinggung nilai-nilai moral. Seorang pembaca menulis keluhan di koran Pembrita Betawi. Katanya, “Komedie Stamboel mengambil apa adanya dari 1001 Malam. Cerita-cerita ini tidak sesuai buat perempuan dari keluarga baik-baik, sebab hampir semua ceritanya mengandung rahasia-rahasia seksual, misalnya penggunaan kekerasan dalam adegan ranjang yang tak pantas dilihat oleh perempuan belia. Lebih baik jika komedi mengambil cerita dari sumber lain yang sesuai untuk semua kalangan.”
Dua minggu setelah pertunjukan pertama, komedi ini diminta untuk meninggalkan Mangga Besar. Setelah percobaan pembakaran tenda pertunjukan, Bintang Barat menulis “lebih baik komedi secepatnya pergi dari Mangga Besar, sebab jika tidak, akan memicu konflik yang lebih serius.”
Sehari setelah pertunjukan terakhir pada 13 Oktober, komedi pun pindah ke kawasan Gambir.
Tinggalkan Balasan