Rijsttafel adalah kata dalam bahasa Belanda yang berarti “rice table” atau hidangan nasi dengan beragam lauk pauknya. Orang Indonesia menyebutnya “makan besar” karena begitu banyaknya jenis makanan yang disajikan. Saat orang-orang Belanda masih berkuasa di negeri kita, Rijsttafel begitu populer di kalangan mereka dan menjadi menu andalan hotel-hotel ternama waktu itu seperti Hotel des Indes di Molenvliet West, Batavia (kini Jl. Gajah Mada).Yang membuatnya unik bukan hanya ragam hidangannya, tapi juga cara menghidangkannya. Berbeda dengan makan ala prasmanan, penikmat risjttafel tak perlu mendatangi meja tempat makanan dihidangkan. Para pelayan yang jumlahnya puluhan orang akan berbaris dan mendatangi meja satu persatu untuk menawarkan rupa-rupa makanan untuk diambil dan diletakkan di atas piring mereka.
Rijsttafel terdiri dari tiga bagian: hidangan pembuka (appetizers), menu utama (entrees) dan hidangan pencuci mulut (desserts). Sebagai pembuka, biasanya dihidangkan gado-gado, lumpia, sate ayam atau sate kambing. Beberapa saat kemudian, barisan pelayan akan masuk lagi ke ruang makan dengan membawa hidangan utama seperti nasi (putih atau kuning), kari ayam, semur daging, sayur lodeh, sambal goreng ati, dan aneka sambal. Jika makan besar sudah selesai, datanglah hidangan pencuci mulut yang terdiri dari beragam macam buah lokal seperti pisang, nenas, mangga dan manggis.
Augusta de Wit dalam bukunya “Facts and Fancies about Java” (1900) menceritakan pengalamannya menikmati hidangan Rijsttafel di Batavia sebagai berikut:
“Ada satu pengalaman yang tak pernah aku lupakan. Waktu itu aku baru saja tiba usai jalan-jalan keliling kota. Cahaya mentari yang menyilaukan, kerumunan orang di jalan-jalan, dan suasana kota pelan-pelan mulai lenyap dari kepalaku (ternyata ada banyak hal yang memabukkan selain minum gin). Aku lalu masuk ke aula belakang dengan perasaan bak “pahlawan dari medan perang” dan kulihat sebuah meja panjang yang di atasnya ada puluhan mangkuk nasi, sejumlah masakan ayam dan ikan, dan ratusan piring sambal yang disusun di antara tumpukan pisang, manggis dan nanas, seolah-olah aku bisa menyantapnya semua seperti meminum alkohol. Aku pun duduk dan piring di depanku lalu diisi dengan apapun yang datang silih berganti. Apa yang terjadi kemudian, aku tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Dalam waktu singkat, aku merasa menjadi obyek penderitaan. Bibirku bagaikan terbakar oleh sambal, tenggorokanku seperti hangus sehingga aku harus cepat-cepat mengguyurnya dengan air, mataku basah seperti orang menangis, aku mencoba bertahan sebisanya dari rasa pedas yang tertahankan. Seseorang memberi saran agar aku mengisap sedikit garam, aku lalu menurutinya. Tak lama kemudian penderitaanku mulai berkurang dan ternyata aku masih hidup. Aku pun bersumpah tak akan memakan hidangan itu lagi. Tapi kulanggar janjiku itu di kemudian hari…”
Cara makan seperti Rijsttafel bukanlah asli Indonesia. Selama 350 tahun masa penjajahannya di Indonesia, Belanda memperkenalkan Rijsttafel bukan sekedar menikmati beragam hidangan saja, tapi juga untuk memamerkan kekayaan negeri yang dikuasainya. Puluhan pelayan yang berbaris untuk melayani mereka adalah simbol kekuasaan yang ingin mereka pertahankan.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, rasa nasionalisme pun meningkat. Orang Indonesia menolak kultur dan kebiasaan orang-orang Belanda, termasuk “makan besar” bernama Rijsttafel itu.
(Foto: engelfriet.net)
Tinggalkan Balasan