Belanda memang sangat jauh dari Indonesia. Waktu negeri kita menjadi wilayah kolonial mereka, sangat sedikit perempuan Belanda totok yang datang dan tinggal di Hindia Belanda. Akibatnya, orang-orang Belanda yang masih membujang kesulitan untuk mendapatkan pasangan sebangsa sehingga mereka melirik perempuan-perempuan asli Indonesia.
Pria Belanda totok biasanya mengambil perempuan lokal sebagai pengurus rumah tangga (huishudster) dan teman tidur (sex partner). Perempuan dengan peran ganda seperti itu dulu dipanggil “Nyai” dan jarang sekali yang dinikahi secara legal. Anak-anak keturunannya dipanggil oleh orang-orang pribumi dengan sebutan sinyo (laki-laki) dan nonna (perempuan). Di masa kini banyak orang menyebutnya sebagai Indo, kependekan dari Indo-Eropa atau keturunan Indonesia-Eropa.
Gadis-gadis Indo terkenal rupawan. Mereka mewarisi hidung mancung dari ayahnya serta rambut hitam dan kulit coklat dari ibunya. Dulu, cuma pria-pria Belanda saja yang berani mendekati gadis-gadis Indo itu, tak terkecuali Pinket van Haak, bujang keren yang menjadi petinggi dalam pemerintahan kolonial.
Frederik Willem Pinket van Haak lahir di Batavia pada 1779. Ayahnya seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Usai bersekolah di Belanda dia kembali ke Jawa pada tahun 1798. Mengikuti jejak ayahnya, dia pun bekerja pada pemerintah dan diangkat sebagai ambtenaar di Jepara dua tahun kemudian. Setelah peralihan kekuasaan dari Belanda ke Inggris berakhir, Pinket ditunjuk sebagai residen di Surakarta, Jepara, Surabaya dan Pekalongan.
Pinket tidak menikah tapi dikenal memiliki “gadis-gadis campuran” di rumahnya. Pada tahun 1829, dia menulis surat kepada Gubernur Jenderal Leonard Pierre Jospeh Du Bus de Gisignies agar sebagian anaknya bisa diakui secara hukum. Dia berjanji akan menikahi ibu-ibu mereka sebagai “syarat kelengkapan”. Sayang, permintaan Pinket ditolak dengan alasan bahwa perempuan-perempuan itu adalah muslim.
Pinket lalu protes. Menurutnya, keputusan soal perkawinan tak lagi di bawah kekuasaan gereja. Hukum di Belanda menganggap semua agama memiliki hak yang sama, kilah Pinket. Tapi pemerintah tetap menolak keinginannya dengan alasan bahwa hukum Belanda tak berlaku di negeri jajahannya. UU Batavia tahun 1642 memang melarang kristiani menikah dengan orang berkeyakinan lain.
Seorang penasihat hukum pemerintah mengatakan bahwa Pinket “sudah menganggap dirinya sebagai orang Jawa dan memperlakukan orang-orang Jawa sebagai kerabat dan keluarganya”. Pinket juga dituduh memiliki banyak selir, seorang di antaranya berasal dari kalangan sangat rendah.
“Hampir setiap orang Eropa yang masih bujangan memiliki selir, sebagian di antaranya terang-terangan, tergantung rasa malu mereka,” kata penasihat hukum itu.
Pandangan publik Hindia Belanda tentang selir memang lebih longgar ketimbang di Eropa. Masalah Pinket sebetulnya bukan karena dia memelihara selir atau memiliki anak di luar nikah, tapi karena perempuan yang ingin dinikahinya itu berasal dari kalangan bawah.
Menurut sang Gubernur, harus ada garis yang tegas antara peraturan dan orang yang diatur. Terlalu banyak percampuran budaya dan kelas akan merusak tatanan kolonial. Perempuan Jawa, kata sang Gubernur, harus mau menerima posisinya sebagai “gendak” atau “simpanan” saja. Tak lebih dari itu…
Akhirnya Pinket tak jadi menikah dan anak-anaknya pun tak diakui oleh hukum kolonial. Sebagian anak-anaknya kemudian pulang ke Belanda dan menetap di sana hingga sekarang. Mereka menyebut Pinket dengan sebutan “Opa Matjan”, entah karena sosoknya yang tinggi besar dengan cambang tebal atau karena alasan lain…
(Sumber: Being “Dutch” in the Indies: a history of creolisation and empire, 1500-1920 oleh Ulbe Bosma, Remco Raben)
Whoa! What an interesting story!
I’ve been longing to write some kind of story about the old Indonesia, but knowing that it’s so hard to find written notes/information from that era due to my ancestors’ illiteracy at the time, I’m ready to give up.
When I see the old pictures from this beloved country of mine, I feel like I wanna go back there, that I miss those moments even though I know damn well I live some centuries after them.
Times when almost everything, everyone, is innocent, everytime.