“Hotel des Indes benar-benar nyaman. Setiap tamu mendapat ruang duduk dan kamar tidur yang menghadap beranda, dimana mereka dapat menikmati secangkir kopi di pagi hari dan teh di sore hari. Di tengah bangunan hotel yang terbuka terdapat beberapa kolam pemandian yang bisa digunakan kapan saja. Sarapan disajikan secara prasmanan pada jam sepuluh pagi dan makan malamnya pada jam enam sore. Semua kenikmatan itu dapat diperoleh setiap tamu dengan biaya yang terjangkau. “Itulah sepenggal pengalaman Alfred Russell Wallace (1823-1913) yang tercetak dalam “The Malay Archipelago”, buku yang dibuatnya usai melakukan perjalanan ke sejumlah tempat di Nusantara (1854-1862). Meski sempat mengeluhkan
hawa Batavia yang panas, naturalis Inggris itu tampak terkesan dengan kenyaman yang diberikan Hotel des Indes. Tak jelas kapan persisnya Wallace menginap di hotel tersebut. Dia hanya menyebutkan bahwa dalam kunjungannya ke Jawa dari 18 Juli hingga 31 Oktober 1861, dia tinggal selama sepekan di hotel itu.
Hotel des Indes yang beroperasi antara tahun 1829-1971 merupakan salah satu ikon Batavia tempo doeloe. Letaknya di ujung selatan Molenvliet West yang kini bernama Jl. Gajah Mada, Jakarta. Di depannya mengalir kanal yang memisahkan Molenvliet West dengan Molenvliet Oost (kini Jl. Hayam Wuruk), di mana gedung Societeit De Harmonie berada. Dulu hotel ini bernama Hotel de Provence sebelum Douwes Dekker mengusulkannya menjadi des Indes.
Ketenaran Hotel des Indes dulu dianggap melebihi hotel-hotel terkenal lainnya di Asia, termasuk Hotel Raffles yang dibangun oleh kolonial Inggris di Singapura. Simak saja penuturan Thomas H. Reid dalam buku “Across the Equator” (1908):
Menyusuri Noordwijk pada sore dan malam hari kita akan mengetahui perbedaan antara Batavia dan Singapura. Saat matahari tenggelam, dengan pengecualian terangnya lampu-lampu listrik yang dimiliki Hotel Raffles dan Hotel de l’Europe, Singapura adalah kota mati. Hongkong juga begitu. Tapi di Batavia suasananya sangat lain. Menjelang makan malam, suasananya begitu hidup sehingga Noordwijk and Rijswijk bisa disejajarkan dengan Boulevard des Capuchins di Paris. Kita dapat menikmati makan malam atau minum anggur di Stamm and Weijns atau di Hotel des Indes, tempat makan yang tak kalah mewah dari restoran-restoran terbaik di London atau Paris. Satu keistimewaan yang jarang diperhatikan pengunjung adalah kecermatan dan kesempurnaan yang ditunjukkan oleh bocah-bocah Jawa yang menjadi pelayannya. Melihat betapa hati-hatinya mereka menyediakan makanan dan begitu alaminya makanan yang disajikan, orang pasti membandingkannya dengan sayuran jelek, botol selai berdebu dan ketidakpedulian para pelayan di daerah kolonial Inggris.
Hotel des Indes dan kemewahannya kini tinggal kenangan. Meski sempat diganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia pada tahun 1949, des Indes akhirnya ditutup dan dibongkar karena kalah bersaing dengan Hotel Indonesia yang dibangun Soekarno pada tahun 1962. Di lokasi bekas Hotel des Indes kini berdiri pertokoan Duta Merlin.
(Foto: Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT) via CC-BY-SA-3.0], Wikimedia Commons)
Thanks for the share! Very useful info!
[…] sering didatangi turis, Weltevreden memiliki banyak hotel. Di sana ada Hotel des Indes (baca Hotel des Indes Ikon Batavia), Hotel der Nederlanden, Grand Hotel de Java, dan lain-lain. Kamar-kamarnya luas dan berplafon […]
[…] kawasan ini. Di kawasan inilah berdiri sejumlah hotel yang sangat terkenal pada saat itu, misalnya Hotel des Indes dan Hotel der […]