Makan malam di istana Buitenzorg

Rumah kediaman Gubernur Jenderal Belanda tahun 1885 (kini Istana Presiden Bogor) . Foto koleksi Troppen Museum.

Bogor tempo doeloe adalah kota peristirahatan orang-orang Belanda yang tinggal dan bekerja di Batavia. Hawanya yang sejuk karena berada di kaki Gunung Salak dan curah hujannya yang tinggi, membuat kota ini menjadi “tempat makan angin” bagi mereka yang jenuh dengan pengapnya kota besar. Itulah sebabnya orang-orang Belanda menyebut kota ini “Buitenzorg” yang artinya “tanpa kekhawatiran”.

Selain kebun raya botani yang terkenal, di kota ini juga terdapat rumah peristirahatan para gubernur jenderal Belanda. Di gedung yang kini menjadi istana kepresidenan itu dulu sering digelar jamuan makan malam dimana sang gubernur mengundang para petinggi pemerintahan dan tamu-tamu asing yang sedang mengunjungi Buitenzorg.

Charles Walter Kinloch, seorang turis Inggris, menceritakan pengalamannya menghadiri undangan makan malam dari Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist di istana pada tahun 1852.

Di pagi yang sama, kami menerima undangan makan malam dari gubernur. Pada waktu yang disebutkan dalam kartu undangan, kami pun datang ke istana. Kami melihat semua hadirin berdiri, undangan wanita berkumpul di salah satu sisi ruangan, dan para pria di sisi lain. Tiba-tiba pintu di ujung ruang tamu terbuka, dan Gubernur Jenderal bersama istrinya berjalan perlahan memasuki ruangan. Para undangan menunduk dan membungkuk untuk memberi hormat saat Yang Mulia berjalan melewati mereka. Sekretaris istana lalu maju ke depan dan secara resmi memperkenalkan kami pada tuan dan nyonya rumah.

Saat makan malam kami mendapat kehormatan duduk di samping tuan rumah. Sebagian percakapan dilakukan dalam bahasa Belanda, sebagian lagi dalam bahasa Prancis. Yang Mulia agak malu-malu berbahasa Inggris, meskipun tampaknya dia memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahasa tersebut. Makan malam, tentu saja, disajikan ala Belanda tulen, beragam makanan dalam porsi-porsi kecil, lengkap dengan ciri khas mereka yaitu mentega asam dan asin, permen coklat, manisan gandum, dan kue plum bertabur gula. Minuman anggurnya yang beraneka macam sungguh lezat. Tetapi selera kami lebih memilih makanan Inggris yang padat dan sehat, yang mungkin didasari pertimbangan buruk sehingga kami tak menikmati sepenuhnya makan malam terbaik di tanah Jawa itu.

Undangan pria tidak duduk-duduk setelah makan, tetapi mengikuti gaya kontinental dengan meninggalkan meja bersama pasangannya masing-masing. Kami lupa bahwa saat itu kami makan malam dengan orang-orang asing, sehingga agak bingung ketika kami masih duduk sendirian di meja yang kosong. Pasangan terakhir telah menuju ruang aula. Akhirnya kami pun sadar dan segera menyusul mereka.

Di aula semua hadirin berbaris rapi mirip pasukan yang sedang diinspeksi. Pria dan wanita berbaris terpisah dan berdiri berhadapan. Para wanita lalu menunduk untuk memberi hormat kepada pria di depannya. Para pria lalu membungkuk membalas hormat mereka. Usai prosesi ini, ketika para wanita meninggalkan aula, kotak-kotak cerutu lalu berpindah tangan sehingga dalam beberapa menit ruangan itu semerbak dengan bau asap tembakau. Karena kami bukan perokok, kami lalu bergabung dengan para wanitanya. Waktu semakin malam dan kami diajak bermain kartu dengan gubernur jenderal. Kami menolak kehormatan itu dan memilih duduk di ruang musik.

Kami senang menghadiri jamuan makan malam itu. Gubernur dan istrinya sangat ramah dan penuh perhatian. Tampak sekali mereka berusaha menyenangkan kami. Yang Mulia sangat sopan dan sikapnya menyenangkan. Bagi kami yang berasal dari Inggris, mungkin dia tampak sedikit berlebihan karena kami lebih senang dengan acara yang tak begitu formal.

Nyonya van Twist, meski tidak begitu cantik, memiliki ekspresi wajah paling menyenangkan dan melakukan tugasnya dengan baik sebagai tuan rumah.

Catatan

Kisah di atas diceritakan oleh Charles Walter Kinloch dalam buku “De Zieke Reiziger: Rambles in Java and the Straits Settlement” yang pertama kali diterbitkan pada 1853.  Buku itu berisi pengalamannya mengunjungi Penang, Singapura dan Pulau Jawa sebagai turis pada tahun 1852.  (*)

Published in: on 09/10/2011 at 13:03  Comments (1)  
Tags: , , ,

The URI to TrackBack this entry is: https://tempodoeloe.com/2011/10/09/makan-malam-di-istana-buitenzorg/trackback/

RSS feed for comments on this post.

One CommentTinggalkan komentar

  1. […] Makan malam di istana Buitenzorg […]


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: