Kisah Tiga Tentara KNIL – Bagian 6

Ini adalah bagian ke-6 dari kisah tentang tiga tentara Belanda yang ditawan oleh Jepang di kamp tahanan militer Cimahi, Jawa Barat, pada masa Perang Dunia II (1939-1945). Kisah ini dimuat dalam salah satu edisi majalah “Katholieke Illustratie” terbitan Belanda yang diceritakan kembali oleh Tetske T. van Der Wal dalam blognya.

Mencari Senjata

Ketika semuanya tengah berlangsung, Si Jangkung berjalan di antara reruntuhan gedung bekas kantor perkebunan karet dekat Buitenzorg.

Para perampok telah menghancurkan semuanya yang tersisa: pabrik, kantor, dan asrama pekerja; bahkan pagar tembok besar penuh lubang seperti kaleng sarden.  Perasaan tak nyaman meruap di tempat yang hangus, sunyi dan berbahaya itu.  Di tanah berlumpur, dia melihat jejak-jejak kaki.  Bagian belakang pabrik tampak masih utuh.

Saat berbelok dari sudut tembok, Si Jangkung melihat sisa-sisa pembakaran yang apinya masih menyala.  Dia perhatikan, tangga menuju ruang pengeringan kotor oleh lumpur yang masih basah.  Si Jangkung merasa ada mata yang mengawasinya.

Dia melihat sekeliling dengan pistol di tangannya tapi tak menemukan siapa pun.  Dengan pelan dan hati-hati, dia menaiki tangga.  Ketika sampai di atas dia melihat undakan kecil.  Pintu ruang pengeringan sedikit terbuka.  Dengan cepat dia mendorong pintu itu dan mengarahkan senjatanya ke sana.  Dalam kegelapan dia melihat sesuatu bergerak dan dia pun menembak.  Suara tembakan menggaung pada dinding ruang kecil itu lalu sunyi kembali.  Pelan-pelan Si Jangkung bergerak mengikuti arah dinding.  Samar-samar dia melihat sesosok lelaki Jawa terbaring di lantai.  Orang itu sekarat, bukan karena tembakan Si Jangkung tapi oleh tusukan pisau di dadanya.  Si Jangkung merobek sedikit pakaian lelaki itu dan membalut lukanya sambil bertanya-tanya.  Tapi hanya erangan yang keluar dari mulutnya.

Siapakah pembunuhnya dan dimana mereka? Apakah mereka mendengar suara tembakan Si Jangkung? Berapa banyak mereka? Dengan cepat tanpa menimbulkan suara Si Jangkung turun, melihat di sekitar dengan waspada.  Dia tak melihat apa-apa. Kemudian dia berbelok ke kanan ke tempat dimana senjata-senjata itu mungkin disembunyikan.

Informasi yang diterimanya terbukti benar.  Dalam beberapa menit dia menemukan delapan kotak besar.  Tiga di antaranya berisi pistol otomatis Mauser dan lima lainnya berisi senjata lain dan amunisi.  Tetapi dia masih was-was dengan keberadaan orang lain yang mengawasinya.  Tubuhnya menegang, dia menengok ke pepohonan di luar dan mengamatinya;  agak susah melihat dengan mata telanjang bahwa semak tinggi di luar sana bergerak sedikit.  Dengan cepat dia melompati tembok.  Sambil berlutut, dia arahkan pistolnya dan menunggu. Tiba-tiba dia melihat mereka, dua sosok manusia muncul dari semak-semak dan berlari ke tempat penyimpanan senjata.  Si Jangkung mengejar mereka ke sudut dan mengarahkan pistolnya.  Karena takut mereka berdiri saja.  Dia renggut keris-keris dari sabuk mereka lalu mendorong mereka ke samping kotak senjata.  “Ambil!” dia berteriak, “ayo cepat ambil!”

Dua lelaki Jawa itu terkejut lalu mengangkat kotak-kotak tersebut. Si Jangkung menyelipkan keris di ikat pinggangnya sendiri.  Mereka berjalan, dua lelaki Jawa di depan.  Tapi tiba-tiba Si Jangkung teringat lelaki sekarat di ruang pengeringan.  Dia perintahkan keduanya berbalik dan menurunkan kotak senjata.  Dengan ketakutan mereka memandang Si Jangkung yang menyuruh mereka untuk segera naik.  Mereka berusaha memberitahu kalau yang ada di atas sana adalah musuh yang berbahaya.  Si Jangkung mengancam lagi dengan pistolnya dan dengan enggan mereka naik ke atas. Lelaki sekarat itu telah mati.

“Siapa di antara kalian yang menikamnya sampai mati?” tanya Si Jangkung. “Saya, tuan,” salah satunya mengaku.  “Dia musuh kami, membunuh tiga anak dan seorang perempuan di kampung.”

Si Jangkung lalu memerintahkan mereka turun dan menggali lubang.  Usai mengubur mayat itu, mereka berjalan lagi.  Saat tiba di pinggiran hutan kotak-kotak senjata itu diturunkan dan mereka menunjukkan jalan pintas ke arah kota. Si Jangkung lalu mengembalikan keris dan memberi mereka masing-masing 1 gulden.  Mereka mengucapkan terima kasih lalu cepat-cepat pergi.  Ketika sudah tak tampak lagi, Si Jangkung membawa kotak-kotak itu mengikuti aliran sungai dan menguburnya.  Dia letakkan sejumlah batu di atasnya sebagai tanda.

Ketika bertemu lagi dengan teman-temannya di tempat yang sudah disepakati, mereka bertukar cerita.  Jan mendatangi ‘Kelter’ untuk menyampaikan kabar baik bahwa mereka kini memiliki dua senjata mesin, dua senapan ringan Jepang, tiga pistol Mauster dan tiga pistol biasa.  ‘Kelter’ sangat senang mendengarnya.  Mereka memutuskan untuk tetap pada rencana: menerobos masuk ke dalam gedung Sekretaris Jenderal.

Satu jam setelah senja, bekas Hindia Belanda segera menjadi gelap.  ‘Kelter’ dan Jan mengendap-endap melalui halaman belakang lalu masuk melalui gerbang kecil dan tiba di rel kereta.  Dua orang Tionghoa yang jadi kepercayaan ‘Kelter’ sudah menanti mereka di sana.  Mereka berbisik-bisik untuk memberi instruksi.  Dua lelaki Belanda itu lalu berlari ke jalan kecil yang gelap di belakang gedung.  Setelah beberapa kali berusaha, daun jendela gedung berhasil dibuka.  ‘Kelter’ yang paham setiap ruangan dalam gedung itu memanjat lebih dulu dan masuk ke dalam.  Tapi karena gelap, kakinya menyenggol sebuah kursi.  Suara kursi yang jatuh menciptakan suara nyaring dan jantung mereka berdebar-debar, takut terdengar oleh seseorang.  Tapi tampaknya tak ada orang lain di dalam gedung itu.

Secara perlahan mereka melanjutkan aksinya.  Di ruangan ini mereka hanya menemukan sejumlah baju, sepatu, botol air dan pakaian dari kulit.  Mereka lempar beberapa botol air dan sepatu ke luar jendela;  Orang Tionghoa yang berjaga di luar menangkapnya dan melemparkannya lagi ke temannya yang berada di seberang rel.  Sekarang ‘Kelter’ dan Jan harus menyeberangi lorong utama untuk sampai ke ruangan lain.  Aksi ini berbahaya karena bisa terlihat oleh serdadu Jepang yang berjaga di luar.  Tapi yang mereka dengar hanya suara orang mabuk dan nyanyian sumbang yang diulang-ulang oleh tenggorokan serak.

Pintu ruangan itu terkunci dan mereka harus berusaha keras membukanya.  Akhirnya mereka berhasil masuk ke ruangan yang penuh senjata itu.  Pertama-tama, tommyguns (senjata semi otomatis) dilemparkan lewat jendela, semua ada 15 lengkap dengan amunisinya.  Kemudian beberapa kaleng besar berisi granat tangan.  Ada pistol yang bisa digunakan, tapi mereka tak menemukan amunisinya.  Senjata lain juga ada tapi mereka tak ingin mengambil resiko tertangkap.  Mereka menutup pintu lalu keluar melalui jendela.  Daun jendela kemudian ditutup dan mereka berterimakasih kepada orang-orang Tionghoa itu dengan memberi senjata buat keduanya.

Senjata-senjata itu lalu mereka sembunyikan di kebun ‘Kelter’.  Malam sudah larut ketika mereka kembali ke rumah sahabatnya itu.  “Sangat menyenangkan jika kalian bisa tinggal di sini, ” kata ‘Kelter’.

Pada hari yang sama, Si Jangkung dan Si Jerawat memberitahu Jan keberhasilan mereka menghadapi ‘Jappie’ (Jepang) di Parang Koeda, dimana mereka menemukan gudang senjata tersembunyi.  Senjata-senjata ini pun lalu dikubur di belakang rumah ‘Kelter’.

Tiap hari bahaya semakin mengancam.  Makin banyak orang kulit putih yang lolos dari kamp bergabung dengan organisasi.  Berita tentang pencurian senjata di gedung Kempetai sudah menyebar dan Jepang mulai memata-matai mereka.  Jan dan ‘Kelter’ sepakat untuk menghilang sementara dari Buitenzorg.   Si Jangkung dan Si Jerawat berpikir untuk melakukan hal yang sama.  Hanya ada satu hal yang ingin mereka lakukan.  Seorang kenalan memberi mereka sebuah alamat rumah dari seseorang yang ditawan di kamp Jepang.  Rumah itu terbilang aman dan banyak uang tersimpan di sana.  ‘Kelter’ boleh menggunakan uang itu untuk mendanai pasukan perempuan atau mendirikan dapur umum.  Berangkatlah Si Jangkung dan Si Jerawat dengan menyandang senjata dan sejumlah granat.

(bersambung…)

Baca juga:

Published in: on 27/12/2016 at 17:58  Comments (1)  
Tags: , ,

The URI to TrackBack this entry is: https://tempodoeloe.com/2016/12/27/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-6/trackback/

RSS feed for comments on this post.

One CommentTinggalkan komentar

  1. Wah, kisah yang menyeramkan yah jaman dulu. . Bersyukurlah kita hidup dijaman yang sudah merdeka ini. Terima kasih kepada para pahlawan yang sudah memerdekakan negara kita.


Tinggalkan komentar